Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.


     One evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents. Suddenly a knocking was heard at the city gate, and the old king went to open it.

     It was a princess standing out there in front of the gate. But, good gracious! what a sight the rain and the wind had made her look. The water ran down from her hair and clothes; it ran down into the toes of her shoes and out again at the heels. And yet she said that she was a real princess.

    Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses. On this the princess had to lie all night. In the morning she was asked how she had slept.

"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"

    Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds. Nobody but a real princess could be as sensitive as that.

    So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.

date 11/21/2011

   
     Penggunaan timbal dan grafit yang memberikan efek goresan abu-abu sudah dimulai sejak zaman Yunani. Pada tahun 1564 ditemukan kandungan grafit murni dalam jumlah besar di Inggris bagian utara. Walaupun terlihat seperti batu bara, grafit tidak dapat terbakar, dan meninggalkan bekas berwarna hitam mengkilap serta mudah dihapus. Pada masa itu grafit masih disalahartikan dengan timah hitam dan plumbago. Karena itulah istilah lead pencil (pensil timah) masih digunakan sampai sekarang.Karena berminyak, dahulu grafit dibungkus dengan kulit domba atau potongan kecil timah berbentuk tongkat dibungkus dengan tali.  Tidak diketahui dengan pasti siapa yang pada awalnya memasukkan grafit ke dalam wadah kayu sehingga berbentuk pensil yang kita kenal sekarang ini. Namun, pada tahun 1560-an, pensil dengan bentuk yang primitif sudah ada di benua Eropa.
 
     Grafit kemudian diekspor untuk para seniman, dan pada abad ke 17 bisa dikatakan grafit telah digunakan dimana-mana.Para pembuat pensil melakukan percobaan dengan grafit untuk menciptakan alat tulis yang lebih baik.Karena grafit menjadi hal yang begitu berharga dan menjadi incaran pencuri, pada tahun 1752 Parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang yang menetapkan bahwa pencuri grafit bisa dipenjarakan.  Pada tahun 1789 nama grafit yang berasal dari bahasa Yunani graphein resmi diberikan, sehingga menghilangkan kebingungan antara grafit dengan timah hitam.
 Dalam pembuatan pensil modern, grafit murni digunakan dengan cara dicampur dengan tanah liat.

date

1. Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911-15 Februari 1989)
     Peran Sjafruddin Prawiranegara sangat besar pada saat Indonesia dilanda agresi militer Belanda II. Saat itu Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, Soekarno-Hatta ditawan Belanda. Sjafruddin-lah yang ditugasi membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948 di Sumatera. Selama 6 bulan, Sjafruddin menjalankan pemerintahan RI dari dalam belantara hutan. Mereka terus mempropagandakan pemerintahan Indonesia masih ada. Aksi Sjafruddin berhasil, dunia internasional akhirnya memaksa Belanda menghentikan agresi militer mereka. Tanpa PDRI, belum tentu Belanda mau maju ke meja perundingan. Sjafruddin menyelamatkan republik, tapi selama puluhan tahun jasanya seolah terlupakan.

2. Idham Chalid (27 Agustus 1921-11 Juli 2010)
 
     Idham Chalid merupakan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Idham menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama dari tahun 1956 hingga 1984. Dia pernah menjabat menteri saat Orde Lama dan Orde Baru. Pada saat Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Idham menjabat sebagai wakil Perdana Menteri. Saat Orde Baru, Idham pernah menjadi Ketua DPR (1968-1977), serta Ketua MPR (1971-1977). Idham sering dijuluki guru politik orang NU.

3. Buya Hamka (17 Februari 1908-24 Juli 1981)
     Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau disingkat Hamka. Sedangkan buya, adalah panggilan kehormatan dalam bahasa Minangkabau yang berarti ayah. Buya Hamka dikenal sebagai penulis besar Indonesia lewat karya-karyanya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Di Bawah Lindungan Ka'bah. Tapi Hamka bukan hanya seorang penulis, dia juga politisi dan pejuang. Kiprahnya di dunia politik dimulai tahun 1925 saat menjadi anggota Sarikat Islam kemudian bergabung dengan Masyumi. Presiden Soekarno akhirnya membubarkan Masyumi dan memenjarakan Hamka.

4. Ki Sarmidi Mangunsarkoro (23 Mei 1904-8 Juni 1957)
     Ki Sarmidi Mangunsarkoro adalah salah satu tokoh pendidikan nasional. Dia mendirikan Perguruan Tamansiswa di Jakarta, atas restu Ki Hajar Dewantara. Tidak hanya itu, dia juga ditugasi memodernisasi Taman Siswa dan menyusun kurikulum Taman Siswa. Mangunsarkoro juga berpolitik menentang kolonialisme. Pada Kongres Sumpah pemuda tahun 1928, dia ikut berpidato menekankan pentingnya pendidikan nasional. Dia menentang politik kompromi dengan Belanda saat perjanjian Renville dan Linggarjati. Dia juga beberapa kali menjabat sebagai menteri pendidikan era Soekarno. Jasanya yang lain adalah turut membidani berdirinya Universitas Gajah Mada.

5. I Gusti Ketut Pudja (19 Mei 1908-4 Mei 1977)
     I Gusti Ketut Pudja merupakan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia mewakili Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara). Pudja ikut hadir di Rumah Laksamana Maeda 16 Agustus 1945 saat persiapan kemerdekaan RI. Kemudian dia diangkat Soekarno menjadi Gubernur Sunda Kecil. Saat itu walau Jepang sudah menyerah, tetap saja mereka masih berkuasa di sejumlah daerah di Bali. Pudja sempat ditangkap tentara Jepang saat para pemuda gagal melucuti senjata Jepang akhir tahun 1945. Pudja juga ditugasi Soekarno menjadi pejabat di Departemen Dalam Negeri.

6. Sri Susuhunan Pakubuwono X (29 November 1866-1 Februari 1939)
     Sri Susuhunan Pakubuwono X bernama asli Raden Mas Malikul Kusno. Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwono X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya. Kepemimpinannya merupakan penanda babak baru bagi Kasunanan Surakarta dari kerajaan tradisional menuju era modern. Pakubuwono X cukup memiliki arti penting bagi pergerakan nasional. Dia mendukung organisasi Sarekat Islam cabang Solo.

7. Ignatius Joseph Kasimo (1900-1 Agustus 1986)
     Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono adalah pendiri Partai Politik Katolik Indonesia (PPKI). Dia juga merupakan salah satu pelopor kemerdekaan Indonesia. Kasimo anggota Volksraad antara tahun 1931-1942. Ia ikut menandatangani petisi Soetardjo yang menginginkan kemerdekaan Hindia-Belanda. Pada masa kemerdekaan awal, PPKI yang dilarang oleh Jepang dihidupkan kembali atas gagasan Kasimo dan berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia. Antara tahun 1947-1949 ia duduk sebagai Menteri Muda Kemakmuran dalam Kabinet Amir Sjarifuddin, Menteri Persediaan Makanan Rakyat dalam Kabinet Hatta I dan Hatta II. Dalam kabinet peralihan atau Kabinet Soesanto Tirtoprodjo ia juga menjabat sebagai menteri. Kasimo pun juga pernah ikut menjadi anggota Delegasi Perundingan Republik Indonesia. Di masa orde baru, Kasimo sempat menjadi Ketua DPA.

date 11/19/2011